Green City (Kota
hijau) adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan dan ramah
lingkungan yang dicapai dengan strategi pembangunan seimbang antara
pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial dan perlindungan lingkungan
sehingga kota menjadi tempat yang layak huni tidak hanya bagi generasi
sekarang, namun juga generasi berikutnya.
Green city bertujuan
untuk menghasilkan sebuah pembangunan kota yang berkelanjutan dengan
mengurangi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan dengan
kombinasi strategi tata ruang, strategi infrastruktur dan strategi
pembangunan sosial. Konsep kota yang ramah lingkungan merupakan
pengefektifan dan pengefisiensian sumber daya alam dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin
adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan lingkungan alami
dan buatan.
Kota-kota ramah
lingkungan (eco-cities/green city) baik yang sudah dibangun maupun yang
masih dalam tahap perencanaan memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu:
kota-kota yang ingin mengurangi atau menghapuskan penggunaan bahan bakar
fosil, membangun gedung yang ramah lingkungan serta memromosikan “ruang
hijau” dan udara bersih.
Tujuan dari
kota-kota hijau ini juga ingin menciptakan sistem transportasi publik
yang hemat energi dan mudah diakses, menciptakan lingkungan kota yang
ramah bagi pejalan kaki serta membangun prasarana yang terstruktur yang
memadukan fungsi tempat tinggal, tempat kerja dan tempat belanja.Semua kualitas ini dikenal sebagai konsep pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (sustainable urbanism).
Dalam skala kota,
tentunya konsep tersebut haruslah diwujudkan secara lebih luas lagi.
Keberadaan suatu kota sangat tergantung pada infrastrukturnya. Masih
menurut Nirwono Joga, pola jaringan RTH dengan berbagai jenis dan
fungsinya merupakan rangkaian hubungan dan kesatuan terpadu yang
membentuk infrastruktur hijau (green infrastructure) atau infrastruktur ekologis (ecological infrastructure).
Infrastruktur hijau dengan berbagai jenis dan fungsinya berperan dalam
menciptakan keseimbangan ekosistem kota dan alat pengendali pembangunan
fisik kota.
Green city terdiri dari delapan elemen, yaitu :
1. Green planning and design (Perencanaan dan rancangan hijau)
Perencanaan dan
rancangan hijau adalah perencanaan tata ruang yang berprinsip pada
konsep pembangunan kota berkelanjutan. Green city menuntut perencanaan
tata guna lahan dan tata bangunan yang ramah lingkungan serta penciptaan
tata ruang yang atraktif dan estetik.
2. Green open space (Ruang terbuka hijau)
Ruang terbuka
hijau adalah salah satu elemen terpenting kota hijau. Ruang terbuka
hijau (RTH) berguna dalam mengurangi polusi, menambah estetika kota,
serta menciptakan iklim mikro yang nyaman. Hal ini dapat diciptakan
dengan perluasan lahan taman, koridor hijau dan lain-lain.
Gambar 1.1 Contoh Ruang Terbuka Hijau di Kota Copenhagen, Denmark
Beberapa fungsi dasar RTH secara umum adalah sebagai berikut :
- Fungsi bio-ekologis
- Fungsi sosial, ekonomi serta budaya
- Fungsi estetis RTH
Berikut ini merupakan tipologi RTH di perkotaan :
Gambar 1.2 Tipologi Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan (Dokumen P2KH, 2012)
3. Green Waste (Pengelolaan sampah hijau)
Green waste adalah
pengelolaan sampah hijau yang berprinsip pada reduce (pengurangan),
reuse (penggunaan ulang) dan recycle (daur ulang). Selain itu,
pengelolaan sampah hijau juga harus didukung oleh teknologi pengolahan
dan pembuangan sampah yang ramah lingkungan.
4. Green transportation (Transportasi hijau)
Green
transportation adalah transportasi umum hijau yang fokus pada
pembangunan transportasi massal yang berkualitas. Green transportation
bertujuan untuk meningkatkan penggunaan transportasi massal, mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi, penciptaan infrastruktur jalan yang
mendukung perkembangan transportasi massal, mengurangi emisi kendaraan,
serta menciptakan ruang jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan pengguna
sepeda.
Gambar 1.3 Jalur dan Rambu-Rambu Sepeda di Kota Paris, Perancis
5. Green water (manajemen air yang hijau)
Konsep green water
bertujuan untuk penggunaan air yang hemat serta penciptaan air yang
berkualitas. Dengan teknologi yang maju, konsep ini bisa diperluas
hingga penggunaan hemat blue water (air baku/ air segar), penyediaan air siap minum, penggunaan ulang dan pengolahan grey water(air yang telah digunakan), serta penjagaan kualitas green water (air yang tersimpan di dalam tanah).
6. Green energy (Energi hijau)
Green energi
adalah strategi kota hijau yang fokus pada pengurangan penggunaan energi
melalui penghemetan penggunaan serta peningkatan penggunaan energi
terbaharukan, seperti listrik tenaga surya, listrik tenaga angin,
listrik dari emisi methana TPA dan lain-lain.
7. Green building (Bangunan hijau)
Green building
adalah struktur dan rancangan bangunan yang ramah lingkungan dan
pembangunannya bersifat efisien, baik dalam rancangan, konstruksi,
perawatan, renovasi bahkan dalam perubuhan. Green building harus
bersifat ekonomis, tepat guna, tahan lama, serta nyaman. Green building
dirancang untuk mengurangi dampah negatif bangunan terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan dengan penggunaan energi, air, dan lain-lain yang
efisien, menjaga kesehatan penghuni serta mampu mengurangi sampah,
polusi dan kerusakan lingkungan.
8. Green Community (Komunitas hijau)
Green community
adalah strategi pelibatan berbagai stakeholder dari kalangan pemerintah,
kalangan bisnis dan kalangan masyarakat dalam pembangunan kota hijau.
Green community bertujuan untuk menciptakan partisipasi nyata
stakeholder dalam pembangunan kota hijau dan membangun masyarakat yang
memiliki karakter dan kebiasaan yang ramah lingkungan, termasuk dalam
kebiasaan membuang sampah dan partisipasi aktif masyarakat dalam
program-program kota.
2. KONSEP
Konsep Green City
merupakan frase yang sering digunakan dalam mengangkat isu ekologis ke
dalam konsep perencanaan kota yang berkelanjutan dan perwujudan green city merupakan
tantangan ke depan dalam pembangunan perekonomian yang berkelanjutan.
Beberapa aspek krusial yang harus dipertimbangkan dalam menyusun
kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan, antara lain : harus dapat
menyelesaikan permasalahan urbanisasi dan kemiskinan di kawasan
pedesaan, kewajiban kota untuk menyediakan ruang hijau (RTH) minimal 30%
dari luas wilayahnya, pengutamaan aspek perubahan iklim dalam kebijakan
pembangunan, serta mengutamakan mitigasi dan risiko bencana.
Menurut Prof.
Joerg Rekittke dari National University Singapore dalam paparannya
menjelaskan menjelaskan tentang konsep green city yang cukup menarik dan
“out the box” dalam perencanaan landscape, yakni mengenai konsep “Urban
Jungle”. Konsep ini, merupakan perencanaan ruang terbuka hijau kota
dengan tipologi hutan tropis yang memiliki multiple layer vegetation.
Ruang terbuka hijau dalam konsep green city mencakup empat hal :
- Taman berskala bertetanggaan (neighbourhood park)
- Taman lingkungan (community park)
- Taman kota (city park)
- Taman umum (public park)
Taman-taman ini
merupakan tempat interaksi antarwarga lingkungan. Untuk itu perlu
membuka akses terhadap taman-taman tersebut, mengingat taman-taman kota
yang ada skarang sulit diakses, karena lalu lintas disekitar taman yang
padat dan kebanyakan merupakan taman pasif.
Dengan konsep
Green City krisis perkotaan dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi
di kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas
perkotaan, apabila kita mampu menangani perkembangan kota-kota kecil dan
menengah secara baik, antara lain dengan penyediaan ruang terbuka
hijau, pengembangan jalur sepeda dan pedestrian, pengembangan kota
kompak, dan pengendalian penjalaran kawasan pinggiran.
Terdapat beberapa pendekatan Green City yang dapat diterapkan dalam manajemen pengembangan kota:
- Pertama adalah Smart Green City Planning. Pendekatan ini terdiri atas 5 konsep utama yaitu:
1. Konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan dengan upaya penyeimbangan air, CO2, dan energi.
2. Konsep desa
ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan, arsitektur, dan
transportasi dengan contoh penerapan antara lain: kesesuaian dengan
topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol klimat mikro,
efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum.
3. Ketiga, konsep
kawasan perumahan berkoridor angin (wind corridor housing complex),
dengan strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya, dengan
pembangunan ruang terbuka hijau, pengontrolan sirkulasi udara, serta
menciptakan kota hijau.
4. Keempat, konsep
kawasan pensirkulasian air (water circulating complex). Strategi yang
dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku.
5. Kelima, konsep taman tadah hujan (rain garden).
- Pendekatan
kedua adalah Konsep CPULS (Continous Productive Urban Landscapes).
Konsep penghijauan kota ini merupakan pengembangan landscape yang
menerus dalam hubungan urban dan rural serta merupakan landscape
productive.
- Pendekatan
terakhir adalah Integrated Tropical City. Konsep ini cocok untuk kota
yang memiliki iklim tropis seperti Indonesia. Konsep intinya adalah
memiliki perhatian khusus pada aspek iklim, seperti perlindungan
terhadap cuaca, penghutanan kota dengan memperbanyak vegetasi untuk
mengurangi Urban Heat Island. Bukan hal yang tidak mungkin apabila
Indonesia menerapkannya seperti kota-kota berkonsep khusus lainnya (Abu
Dhabi dengan Urban Utopia nya atau Tianjin dengan Eco-city nya),
mengingat Indonesia yang beriklim tropis.
Gambar 1.4 Konsep Integrasi Kota Tropis
Kelebihan dari
konsep Green City adalah dapat memenuhi kebutuhan keberadaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan, sehingga dapat mengurangi bahkan
memecahkan masalah lingkungan, bencana alam, polusi udara rendah, bebas
banjir, rendah kebisingan dan permasalahan lingkugan lainnya.
Namun disamping
kelebihannya, konsep ini memiliki kelemahan juga. Penerapannya pada
masing-masing kawasan tidak dapat disamaratakan karena tiap-tiap daerah
memerlukan kajian tersendiri. Setidaknya harus diketahui tentang
karakteristik lokal, iklim makro, dan sebagainya. Misalnya, daerah
pegunungan RTH difungsikan untuk menahan longsor dan erosi, di pantai
untuk menghindari gelombang pasang, tsunami, di kota besar untuk menekan
polusi udara, serta di perumahan, difungsikan meredam kebisingan. Jadi
RTH di masing-masing kota memiliki fungsi ekologis yang berbeda.
Disamping itu, penerapannya saat ini kebanyakan pelaksanaan
penghijauannya tidak terkonseptual, sehingga menimbulkan citra
penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa yang dapat mengambil manfaat
positif dari penghijauan.
3. Kota-Kota Green City
1) Copenhagen, Denmark
Copenhagen
merupakan salah satu kota di Denmark yang telah menerapkan konsep kota
cerdas tersebut. Kota ini disematkan label ‘green city leader’, dengan
pengakuan dari indeks kota cerdas Siemens dan European Green Capital
pada 2014, karena memiliki jumlah karbondioksida terendah di dunia
(kurang dari dua ton/kapita). Predikat ini tidak muncul dengan
sendirinya, melainkan melalui sebuah usaha berkelanjutan sejak tahun
1981, dengan program hidup bersepeda. Kota ini kemudian memiliki target
agar perjalanan ke tempat kerja atau sekolah dengan menggunakan sepeda
mencapai 50%. Pada tahun 2009, target ini telah tercapai 37%, sebuah
hasil yang sangat signifikan, dan pada tahun 2025 Copenhagen menargetkan
kotanya netral karbon. Copenhagen juga telah menerapkan konsep IT yang
terintegrasi, dengan melakukan kolaborasi dengan MIT untuk membuat The
Copenhage Wheel, sebuah sepeda hybrid yang memiliki sensor untuk
mengukur polusi, kemacetan lalu lintas, dan kondisi jalanan secara real
time.
Gambar 1.5 Turbin Angin Raksasa di Laut Copenhagen
2. Stockholm, Swedia
Stockholm, Ibu
Kota Ramah Lingkungan Pertama di Eropa ini menerapkan sejumlah inisiatif
hijau guna menciptakan kota yang ramah alam.
Stockholm
dinobatkan sebagai Ibu Kota Ramah Lingkungan Pertama di Eropa oleh
Komisi Eropa pada 2010. Guna meraih gelar tersebut, dalam beberapa tahun
terakhir, Stockholm berinvestasi di beberapa sektor guna menciptakan
model kota yang berkelanjutan.
Hasilnya, pada
2009, produksi gas rumah kaca Swedia turun 3,6 juta ton menjadi 60 juta
ton dari level 2008. Tingkat polusi juga turun 17% dari tahun 1990.
Jumlah total emisi gas rumah kaca dari industri transportasi domestik
mencapai 20,3 juta ton, sementara emisi dari sektor energi mencapai 24,2
juta ton.
Inisiatif Program
Lingkungan Stockholm menyediakan sistem transportasi yang efisien dan
ramah lingkungan. Sekitar 670 juta perjalanan individu dilayani oleh
jaringan yang didukung oleh lebih dari 2000 bis, 1000 gerbong kereta api
dan berbagai jenis angkutan perkotaan (metro carriages).
Semua sistem
transportasi publik tersebut menggunakan bahan bakar yang bersih dan
ramah alam (clean energy). Semua layanan kereta – dan juga bis-bis
perkotaan – dioperasikan dengan energi terbarukan. Mobil-mobil
tradisional diganti dengan mobil-mobil ramah lingkungan yang jumlahnya
kini mencapai hampir 100.000 armada.
Dari sisi
regulasi, sejak 2006, Stockholm membebankan pajak emisi pada semua mobil
yang terdaftar di Swedia yang masuk dan keluar pusat kota Stockholm di
luar jam kantor. Kebijakan ini berhasil mengurangi emisi dan kepadatan
lalu lintas sebesar 10-15%.
Di bidang energi,
kota Stockholm memiliki tradisi pengelolaan sampah dan pengolahan energi
dari limbah rumah tangga sejak berabad silam.
Dalam Rencana
Pengelolaan Limbah Strategis (Strategic Waste Management Plan) untuk
tahun 2008-2012, Stockholm berupaya meningkatkan jumlah limbah makanan
yang dikumpulkan dan diolah.
Target kota ini
adalah mengolah 35% limbah makanan yang berasal dari restoran dan toko
kelontong – dan 10% limbah makanan rumah tangga.
Guna mencapai
target tersebut, pemerintah memromosikan pengumpulan dan pemilahan
limbah makanan yang berasal dari restoran. Saat ini, panas yang
dihasilkan dari pengolahan limbah makanan digunakan untuk sistem pemanas
ruangan rumah tangga dan sudah memasok lebih dari 70% rumah.
Sementara itu,
dari sisi pengelolaan limbah, 25% limbah kota berhasil didaur ulang dan
dikomposkan sehingga menciptakan sistem pengelolaan limbah yang efektif.
Stockholm juga memiliki dua pusat pengelolaan air limbah yang mampu
memasok air bagi 1 juta penduduk.
Air limbah
diproses dengan teknologi canggih guna memisahkan unsur nitrogen dan
fosfor. Standar pengelolaan air limbah ini melampaui Standar Pengelolaan
Air Limbah Perkotaan yang ditetapkan oleh Uni Eropa.
Biogas yang
dihasilkan oleh pabrik pengolahan air limbah ditingkatkan kualitasnya
untuk digunakan sebagai bahan bakar bis umum, taksi dan kendaraan
pribadi. Sementara panas yang dihasilkan dipakai untuk kebutuhan rumah
tangga. Semua kebijakan ini saling terkait dan mendukung Stockholm
menjadi Ibu Kota Hijau Pertama di Eropa.
Gambar 1.6 Pemandangan Kota Stockholm, Swedia
Gambar 1.7 Sudut Kota Stockholm, Dengan Pedestrian Diantara Sungai-Sungai Kecil